Lanjut ke konten

Pendidikan Anti Korupsi

Urgensi Pendidikan Anti Korupsi

Maraknya kasus  korupsi menjadi pembahasan yang sepertinya tidak akan pernah habis di negeri ini. Sudah seharusnya kita  sebagai generasi muda penerus bangsa, diharapkan dapat berperan dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan perilaku korupsi sejak dini.

Apalagi jika kita melihat hasil paparan yang dilakukan oleh Transparency International sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk memerangi korupsi pada tahun 2010 yang menempatkan Indonesia di ranking ke-110 dengan IPK (Indeks Presepsi Korupsi)  2,8 satu kelas dengan beberapa negara seperti Bolivia dan Gabon serta mengalahkan beberapa negara anggota ASEAN yang memiliki IPK lebih rendah seperti Kamboja, Laos dan Myanmar.

Sedangkan di  Asia Tenggara negara ini  menduduki peringkat ke-6 negara terkorup jauh di bawah negara Thailand yang memiliki IPK 3,5 meski menduduki peringkat ke-7. Sebagaimana kita ketahui bahwa korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan melibatkan seluruh unsur baik itu  masyarakat, pemerintah, serta perguruan tinggi dan mahasiswa.  Tentunya kita berharap Perguruan tinggi dan mahasiswa dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi dengan berperan sebagai agen perubahan serta motor pengerak dalam pemberantas penyakit kronis Korupsi. Tentunya Pendidikan Anti Korupsi adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses belajar-mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai anti korupsi. Dalam proses tersebut, Pendidikan Anti Korupsi bukan sekedar media bagi transfer pengetahuan (kognitif), namun juga menekankan pada upaya pembentukan karakter (afektif), dan kesadaran moral dalam melakukan perlawanan (psikomotorik), terhadap perilaku korupsi.

Rencana kebijakan Mendiknas untuk memasukkan kurikulum pendidikan anti korupsi di sekolah/madrasah. Memang baik  dan patut di apresiasi tetapi alangkah baiknya  mengkaji dahulu  sistem yang ada pada saat ini, sistem dan kebijakan dari pemerintah selama satu dasawarsa terakhir ini banyak terjadi kesalahan. Jika ini terlaksana seolah-olah pemerintah hanya menyalahkan anak didik kita yang masih jauh ke depan nanti.

Proses ujian nasional juga perlu dikaji ulang, karena kebijakan standar kelulusan ini hanya menilai kelulusan siswa dari aspek kognitif saja masih belum menyentuk afektif, psikomotorik, spirtitual dan Emotional Quoetient (EQ). Untuk memberantas KKN di negeri ini haruslah banyak melibatkan para pakar-pakar yang telah mengembangkan konsep pengembangan diri yang sangat peduli pada keadaan bangsa pada saat ini serta akademisi yang memiliki orientasi penegakan kepada pendidikan humanis dan agamis.

Pengkaji ulang sistem yang ada mulai dari sistem rekruitmen pengangkatan kepala sekolah yang transparan haruslah dilaksanakan, karena kepala sekolah sebagai edukator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator (EMASLIM)  haruslah memiliki prilaku yang baik yaitu jujur dan amanah dalam melaksanakan tugasnya. Jika pemerintah melaksanakan ini, maka pengelolaan pendidikan akan menjadi baik.

Pendidikan Anti Korupsi

Di dalam surat edaran Pendidikan Anti Korupsi dinyatakan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk pada hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa, sehingga harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Dengan dasar hukum dari surat edaran bertanggal 30 Juli 2012 tersebut adalah Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.

Menurut Retno Listyarti, Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI), mengatakan, perlu adanya semangat antikorupsi dalam kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan antikorupsi penting dan harus disampaikan kepada siswa dengan cara yang lebih kreatif.

Dengan beredarnya surat edaran anti korupsi kita harapkan setiap instansi sekolah mau pun perguruan tinggi dapat melakukan upaya-upaya nyata yang berdampak positif dalam pemberantasan korupsi

Kita tentunya berharap dengan adanya kebijakkan Pendidikan anti-korupsi yang dilakukan sejak dini akan dapat menekan tingkat korupsi di negara ini. Mengingat pendidikan adalah hal yang fundamental dalam membentuk karakter manusia dan bisa menentukan tinggi-rendahnya peradaban yang dibentuknya. Pendidikan anti-korupsi ini tentunya dapat dimulai melalui jalan memberikan pengertian tentang segala sesuatu mengenai korupsi termasuk kedalamnya adalah betapa buruknya pengaruh yang dapat diakibatkan dari tindakan tersebut yang disisipkan dalam  dialog-dialog kecil dan tidak terencana. Hal ini bisa memicu dan mengasah sifat-sifat yang diharapkan timbul dari diri para siswa. Sehingga ketika mereka dibebani kepercayaan yang lebih dari itu suatu hari nanti, tanpa merasa dimata-matai pun mereka bisa bersikap jujur. Oleh karena itu, teladan yang baik dari seluruh anggota keluarga seperti ketaatan beribadah, berperilaku sopan sesuai budaya dan bangsa, bertindak jujur dalam perkataan dan perbuatan sangatlah penting ditanamkan sejak usia dini.

Guru Pembangun Karakter

Ada pepatah mengatakan  guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, guru pada waktu dulu kehidupannya masih sangat pas-pasan. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja, gaji guru pada waktu itu kurang memenuhi standar kehidupan, dikarenakan sangat kecilnya gaji atau “tanda jasa” guru. Guru juga lah yang mengenalkan kita dengan huruf dan angka lewat pendidikan formal. Dengan sabar dan ikhlas, seorang guru memberikan pengajaran kepada murid-muridnya agar kelak bisa menjadi orang yang pandai dan bisa menjadi generasi yang bisa merubah bangsa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, seorang guru harus siap berjuang untuk kemajuan bangsa dan negaranya. Jika tugas itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan negara kita akan keluar dari keterpurukan bidang pendidikan. Indikator maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya karena pendidikan yang maju.

Sebagai pendidik guru tentunya harus mampu memberi keteladanan yang baik kepada anak didiknya sehingga anak didiknya memiliki  prilaku sopan santun, jujur, dan  selalu berbuat baik kepada semua orang yang selalu dekat dengan dirinya. Selain itu proses pengankatan guru pada saat ini sangat kurang transparan penuh dengan KKN sehingga hasil pengangkatan itu sendiri berdampak pada kualitas guru sebagai pendidik dan pengajar di sekolah, jika hal ini berlangsun terus akankah Pendidikan anti korupsi yang akan dimasukkan pada kurikulum pendidikan itu akan berjalan sebagai mana mestinya.

Selain itu, guru dapat memberikan contoh bagaimana mengenalkan prinsip kebaikan, kebenaran dan kesalehan hidup kepada peserta didik ini juga menjadi tugas utama bagi orang tua. Jika orang tua telah mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran pada anak sejak dini, maka saat anak tersebut mulai beranjak dewasa nilai-nilai tersebut akan terpatri dalam jiwa mereka. Dengan demikian keluarga turut andil dalam memberi warna budaya sebuah bangsa, termasuk di dalamnya adalah menciptakan budaya anti korupsi

Standar Pendidikan

Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

* Kompetensi pedagogik;
* Kompetensi kepribadian;
* Kompetensi profesional; dan
* Kompetensi sosial.

Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.

Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

* Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.
* Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.
* Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
* Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah.
* Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
* Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

*Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 40 Tahun 2009 tentang Standar Penguji pada kursus dan pelatihan.

*Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2009 tentang Standar kualifikasi pembimbing pada kursus dan pelatihan.

*Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 42 Tahun 2009 tentang Standar Pengelola Kursus dan Pelatihan.

*Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 43 Tahun 2009 Standar Tenaga administrasi pendidikan pada program Paket A, Paket B, dan Paket C.

*Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Standar Pengelola pendidikan pada Program Paket A, Paket B, dan Paket C.

Wacana Pendidikan Islam

Wacana Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam perkembangannya hingga saat ini telah mengalami beberapa pergeseran paradigma dalam penentuan konsep dan tujuannya, sehingga membuat beberapa pemikir pendidikan mencoba mengulang-ulang dan merumuskan kembali konsep dan tujuan pendidikan Islam agar benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud dalam al-Qur’an. Karena sejatinya pendidikan Islam bukanlah sesuatu hal yang harus dan dapat disamakan secara keseluruhan dengan konsep dan tujuan pendidikan yang ada di Barat saat ini. Tulisan ini mencoba untuk menelaah kembali konsep dan tujuan pendidikan Islam yang difokuskan pada pemikiran Syed Mohammad Naquib al-Attas dan beberapa tokoh lainnya, dengan harapan pendidikan Islam yang sudah terimplementasikan saat ini tidak bertentangan dengan konsep dan tujuan pendidikan Islam yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadith. <span>.
 Pendahuluan
            Pembicaraan mengenai bagaimana mengentaskan pendidikan saat ini dari keterpurukannya terus saja dilakukan, mulai peningkatan dana yang dialokasikan menjadi 20 persen adalah salah satu dari usaha tersebut.
            Akan tetapi sayangya, persepsi mereka tentang pendidikan khususnya pendidikan Islam tampaknya mengalami pergeseran pemahaman dalam konsepnya, sehingga mengakibatkan penerapan dari konsep yang salah tersebut hingga saat ini tidak mengalami perbaikan.
            Pergeseran pemahaman tersebut tidak dapat kita lepaskan dari pengaruh faham Barat yang terus saja dipaksakan untuk kita telan mentah-mentah dan harus kita ikuti kiblatnya. Terlihat dengan munculnya pelajaran khusus yang membahas tentang “Perbandingan Pendidikan” diberbagai negara.
            Pelajaran tersebut tentunya dapat kita tangkap sebagai usaha untuk mencari bentuk pendidikan yang ideal saat ini dari negara-negara maju dan perkembang sekalipun.
            Pendidikan di zaman keemasan Islam pada masa Khulafa ar-Rrashidin, zaman keemasan Dinasti Abasiyah, Umayah dan Dinasti Usmaniyah seakan terlupakan, sehingga mereka lebih sibuk membandingkan model dan sistem pendidikan pada negara-negara maju di Barat saat ini.
Walaupun demikian, kita tidak dapat begitu saja menafikan sistem dan pendidikan yang ada di Barat saat ini, yang tentunya dalam melihat kesana harus kita landasi dengan konsep dan tujuan pendidikan Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadith.
 
Definisi dan Konsep Pendidikan Islam
Sebelum pembahasan kita menjurus tentang bagaimana konsep pendidikan Islam sejatinya, ada baiknya jika kita telusuri beberapa element mendasar yang menyanggah pendidikan Islam tersebut, sehingga nantinya dapat dikembangkan menjadi sebuah rumusan pendidikan Islam.
Adapun tiga element mendasar yang terdapat dalam Pendidikan Islam adalah Process, Content and Recipient (Proses – Isi – Penerima)[2].
Yang dimaksud dengan proses adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada pertanyaan “apakah itu pendidikan?” maka jawabannya adalah “pendidikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia” (Education is a process of instilling something into human beings).
Dari definisi pendidikan di atas, selanjutnya menimbulkan sebuah pertanyaan: “apa yang akan ditanam?”  (What is Instilled?). Dalam pendidikan Islam, yang di tanam disini adalah adab, dengan demikian yang dimaksud dengan content atau isi diatas adalah adab.
Setelah pertanyaan “apa yang akan ditanam” sudah terjawab, ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab yaitu: “kepada siapa adab itu ditanamkan?”, dalam pengertian ini adalah penerima atau recipient dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang dewasa atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul beberapa disiplin ilmu seperti: psikologi anak, psikologi remaja, pedagogy, andragogy dan lain-lain. Karena metode penyampaian isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau content tersebut. Maka mendidik anak-anak tidak sama dengan  mendidik remaja, mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa dan seterusnya.
Akan tetapi element yang terpenting dari ketiga element mendasar yang terdapat dalam pendidikan Islam tersebut adalah content atau isi. Dan isi yang dimaksud adalah adab, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Muhammad “addabani robbi ahsana ta’dibi”.
Hal tersebut sebagaimana yang dipahami oleh al-Attas, al-Attas mengajukan definisinya tentang adab sebagai berikut:
 
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya[3].
 
            Kalau benar-benar difahami dan dijelaskan dengan baik maka konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu (awal Islam). Dia mengatakan: “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi “tarbiyah – ta’lim – ta’dib”[4].
            Al-Attas menolak peristilahan Tarbiyah dan Ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap tentang pendidikan dalam Islam, baik salah satu (tarbiyah atau ta’lim) atau keduanya (ta’lim wattarbiyah). Sebab istilah tersebut menunjukkan ketidak sesuaian makna (term tarbiyah is not quite precise nor yet a correct one for connoting education in the Islamic sense)[5].
            Dan istilah adab, oleh al-Attas di ibarat layaknya sebuah undangan untuk menghadiri jamuan spiritual inviting to a banquet. Karena itulah ilmu pengetahuan dalam Islam sangat dimuliakan seperti halnya al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Maka dalam mencari dan menikmati ilmu pengetahuan yang dimuliakan itu, selayaknya didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas :
           
                Kitab suci al-Qur’an adalah undangan Tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur’an itu adalah dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci, maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dengan sifatnya yang mulia[6].
 
                Adapun istilah Tarbiyah dalam pandangan al-Attas lebih menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanaman-tanaman, dan hanya terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia[7]. Oleh sebab itu Tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional daripada manusia.
 
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam pada hakekatnya adalah membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, yang selalu menjalankan Syari’ah dan hukum-hukum Islam. Sebagaimana yang di ungkapkan Al-Attas:
 
The aim of Muslim education is the creation of the “good and righteous man” who worships Allah in the true sense of the term, builds up the structure of his earthly life according to the sharia (Islamic law) and employs it to subserve his faith.[8]
 
Nampaknya pemikiran al-Attas diatas senada dengan apa yang diungkapkan Al-Ghozali dalam Ihyau Ulumuddin. Adapun unsur-unsur pembentukan tujuan pendidikan dari al-Ghozali dapat dilihat dalam pernyataannya berikut ini:
 
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi….”[9]
 
“……Dan ini sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang”[10]
 
Demikianlah tujuan pendidikan menurut al-Ghazali, yaitu sebagai sarana pendekatan kita kepada Allah, tujuan menuntut ilmu adalah semakin dekatnya penuntut ilmu itu kepada Allah, bukan malah semakin jauh dengan sang pencipta, seperti yang terjadi di Barat. Jangankan semakin dekat, mempercayai keberadaannyapun tidak, inilah yang menjadi problem.
Akhlak dan moral merupakan suatu hal yang tidak dapat kita pisahkan dalam pendidikan. Karenanya barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi moralnya tidak bertambah, maka  dia semakin jauh dari Tuhannya Man Izdada Ilman Walam Yazdad Hudad, Lam Yazdad Minallahi Illa Bu’dan.
Istilah akhlak (khuluk atau character) di ambil dari al-Qur’an, sedangkan contoh dari akhlak sendiri adalah sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi Muhammad. and you (Muhammad) are on an exalted standard of character [11]. Selain dari itu, istilah khuluk dalam khazanah Islam klasik di definisikan sebagai sebuah jiwa yang menentukan tindakan manusia the soul which determines human actions[12].
Adapun Al- Farobi salah seorang cendikiawan Islam klasik mendifinisikan khuluk sebagai sebuah jiwa, dimana seseorang mengerjakan kebaikan dan keadilan adalah menggambarkan sifat kebaikannya. Dan jika ia mengerjakan tindakan jahat dan buruk, itu menggambarkan sifat keburukannya. The states of the soul by which a man does good deeds and fair actions are the virtues, and those by which he does wicked deeds and ugly actions, are the vices[13].
Sedangkan Yahya ibnu ‘Adi (d.974) memberikan definisi yang mendekatinya, yaitu sebagai sebuah jiwa yang mendorong pada tindakan tanpa pikiran sebelumnya a state of the soul by which man performs his actions without thought or deliberation[14].
Definisi Yahya ini, di ikuti oleh beberpa cendikiawan muslim lainnya seperti Ibnu Miskawaih (d.1030). Demikian juga dengan cendikiawan muslim lainnya yang menulis tentang etika dalam islam, seperti al-Ghazali (d. 1111)[15],Fakhr al-Din al-Razi (d. 1209)[16], al-Tusi (d. 1274)[17], al­Dawwani (d. 1502)[18], dan yang lainnya.
  Adapun moral dan akhlak dalam cakupan pendidikan, di definisikan oleh sebagaian cendikiawan muslim sebagai adab. Karena salah satu hal yang melekat dalam konsep pendididkan Islam adalah penanaman adab (inculcation of adab).
 
The fundamental element inherent in the concept of education in Islam is the inculcation of adab (ta’dib),[19] for it is adab in the all-inclusive sense al-Attas mean, as encompassing the spiritual and material life of a man that instils the quality of goodness that is sought after
 
            Akan tetapi, sebagaian besar pemikir pendidikan Barat selalu mengesampingkan etika dalam tujuan pendidikannya, walaupun ada beberapa dari sarjana Barat yang memiliki tujuan sama dengan Pendidikan Islam, yaitu membentuk manusia yang bermoral, akan tetapi sayangnya definisi moral dan etika di Barat dan Islam berbenturan.
Maka dari itu, dibawah ini penulis menyelipkan sedikit definisi dan pendangan Barat dan Islam tentang Etika.
 
Beberapa Aspek Etika di Barat dan Islam
            Tampaknya yang menjadi salah satu problematika dalam penerapan pendidikan Islam diatas adalah adanya pergeseran faham etika dalam kalangan umat muslim.
            Mereka cenderung lebih memaknai etika sebagaimana yang difahami oleh Barat. Maka dari itu pada sub ini, penulis akan sedikit mencoba menelusuri bagaimana gagasan etika Barat dan Islam, sehingga diharapkan tujuan dari penerapan pendidikan Islam bisa terwujud sesuai dengan apa yang di anjurkan dalam al-Qur’an.
Perkataan “moral” berasal dari bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” yang berarti: adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Sedangkan yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu[20]. jadi suatu perbuatan seseorang disuatu negara baik, belum tentu perlakuan tersebut dinegara lain dianggap baik, disinilah moral bagi Barat tidak universal.
            Adapun perbedaan antara moral dengan etika adalah etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis[21].
            Menurut pandangan ahli-ahli filsafat, etika memandang laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, sedangkan etika menjelaskan ukuran itu.
            Pengarang Abul A’la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam bukunya: Ethical Viewpoint of Islam dan memberikan garis tegas antara moral sekuler dan moral Islam. moral sekuler bersumber dari pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. sedangkan moral Islam bersandar kepada bimbingan dan petunjuk  Allah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
            Dalam bahasa Indonesia, selain menerima perkataan akhlaq, etika dan moral yang masing-masing berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Latin, juga dipergunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan  perkataan akhlaq, ialah: susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, adab, perangai, tingkah laku, perilaku dan kelakukan[22].
 
Cakupan Etika Islam:
            Adapun cakupan dari etika dalam Islam adalah sebagai berikut:
a)       Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b)      Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah swt. (al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
c)       Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh ummat manusia di segala waktu dan tempat
d)      Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fithrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia
e)       Etika Islam mengatur dan mengarahkan fithrah manusia ke jenjang akhlaq yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah swt. menuju keridlaan-Nya. dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan yang keliru dan menyesatkan[23].
 
Berbeda dengan etika dalam pandangan Barat, Barat beranggapan bahwa Setiap seni, ilmu terapan, penelitian sitematis, dan tindakan serta pilihan tampaknya bertujuan baik. Yang baik oleh karenanya didefinisikan dengan tepat sebagai sesuatu dimana semua hal mengarah kesana[24].
Dan istilah “baik” menurut Barat memiliki dua arti yang berbeda: (1). Hal yang secara intrinsik baik dan (2). Hal yang baik karena kondusif terhadap baik secara intrinsik.
            Akan tetapi, doktrin (platonis) tidak menunjukkan setiap jenis baik. Hanya hal yang diinginkan dan disukai demi dirinya sendiri sajalah yang disebut “baik” dengan menunjuk satu bentuk (form) saja[25].
Disinilah dapat dilihat ketidak universalan etika dalam sudut pandang Barat, dan dapat dikatakan bahwa etika atau ilmu etika di Barat bermasalah, sebagaimana yang dikatakan Nietzhe, bahwa ilmu moral “Science of Morals” itu sendiri bermasalah, bahkan Schopenhauer[26] menurutnya di anggap gagal dalam membangun moral[27].
Karena memang demi suatu tujuanlah semua itu di Barat dilakukan. Inilah yang baik yang diperoleh lewat tindakan menurut Barat. Jika ada banyak tujuan, akan ada banyak yang baik yang dapat diperoleh lewat tindakan[28].
            Akan tetapi, tidak semua tujuan dalam setiap tindakan kita akan tercapai. Jika ada beberapa tujuan, mestinya ada satu yang merupakan tujuan yang paling final dan paling sempurna di antara banyak tujuan tersebut.
            Jadi sudah jelas bahwa ukuran baik atau tidaknya tingkah laku seseorang di Barat itu di ukur dari segi kepantasan prilaku tersebut di masyarakat, jika masyarakat pada waktu itu menganggapnya prilaku seseorang tersebut sebagai sebuah kewajaran, maka itu adalah ukuran kebaikan di Barat.
            Adapun dalam Islam, ukuran kebaikan dan keburukan sudah jelas tertera dalam al-Qur’an, seperti halnya keburukan menurut al-Qur’an bisa dikategorikan sebagai hal yang haram, luka, penderitaan, dan kemalangan.
 
“……in the Qur’an, showing that su’ in the basic sense may be applied to any kind of harm, injury, affliction, and misfortune[29]”.
 
Kesimpulan
            Akan tetapi dalam perjalanannya, konsep dan tujuan pendidikan seperti yang telah dipaparkan diatas tidak terlepas dari pro dan kontra oleh sebagaian pemikir pendidikan Islam, sehingga menimbulkan sedikit ganjalan dalam aplikasinya.
            Mereka yang tidak sepaham, lebih dikarenakan pemikiran mereka terkontaminasi oleh paham Barat yang hanya ingin mencetak siswa-siswa yang cerdas, kreatif dan kritis, dengan jalan kebebasan berfikir. Sehingga muncul sebuah selogan “karena kebebasanlah siswa akan berfikir”

            Di aspek lain, yang menjadi batu ganjalan dalam penerapan konsep dan tujuan pendidikan Islam seperti yang telah di ijtihadkan oleh beberapa cendikiawan muslim kita adalah adanya pergeseran faham etika dalam benak umat muslim saat ini, sehingga ini menjadi salah satu faktor dari banyak faktor kenapa hingga saat ini pendidikan Islam belum sepenuhnya teraplikasi secara utuh di masyarakat.

Kurikulum Pendidikan

KURIKULUM PENDIDIKAN 2013: Elemen Masyarakat Tolak Penghapusan Bahasa Daerah

 

Sejumlah siswa berjalan meninggalkan kelasnya usai mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD Angkasa 1 Halim Perdanakusumah Jakarta, Jumat (11/1/2013). Untuk tahap awal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan untuk menerapkan kurikulum baru 2013 tingkat sekolah dasar hanya pada 30 persen dari 148 ribu SD yang ada di seluruh Indonesia untuk kelas I dan IV mulai tahun ajaran baru Juli mendatang. (JIBI/SOLOPOS/Antara/Widodo S Jusuf)

SEMARANG-Kalangan guru, perguruan tinggi, organisasi, budayawan dan pemerhati bahasa Jawa di Jateng, menolak penghapusan muatan lokal bahasa daerah pada Kurikulim Pendidikan 2013.

Hal ini terungkap dalam Konferensi Bahasa Jawa yang digelar di Kampus IKIP PGRI Kota Semarang, Selasa (15/1/2013). Ketua Yayasan IKIP PGRI, Sudharto, mengatakan penghapusan bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan bertentangan dengan UUD 1945.

“Sebab Pasal 32 ayat UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional,” katanya.

Mengacu ketentuan UUD itu, lanjut dia, negara seharusnya malah merencana, mengorganisasi, mengawasi, memfasilitasi, menyediakan logistik, dan orangnya untuk pengembangan bahas daerah.

Namun, tugas memelihara bahasa daerah ini dilupakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dia mencontohkan setiap kali ada pengangkatan pegawai tenaga kependidikan, guru bahasa Jawa tak mendapatkan bagian, kalau pun ada hanya satu atau dua orang saja.

Menurut Sudharto, Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud), Muh Nuh telah melalaikan amanat UUD 1945 sehingga malah menghapuskan muatan lokal dalam Kurikulum Pendidikan 2013.

”Beliau [Mendikbud] lalai dengan ketentuan UUD 1945,” tandas mantan Kepala Dinas Pendidikan Jateng ini.

Untuk itu, ujar dia, Konferensi Bahasa Jawa harus mengingatkan kepada pemerintah bahwa bahasa daerah secara konstitusional mempunyai posisi yang strategis. “Apalagi kalau nantinya Kurikulum Pendidikan akan berbasis karakter dengan pendekatan kompetensi, maka bahasa Jawa yang memiliki nilai-nilai keutamaan hidup jangan dihilangkang,” bebernya.

Melalui Konferensi Bahasa Jawa, ujar Sudharto selaku ketua panitia konferensi, akan memberikan masukkan kepada pemerintah agar kurikulum pendidikan 2013 memasukkan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran berdiri sendiri.

“Pelajaran bahasa Jawa bukan merupakan bagian muatan lokal. Apalagi sudah ada Perda Jateng No 9/2012 tentang Bahasa Jawa,” ungkapnya

Kebijakan Pendidikan

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

 
 
TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PENDIDIKAN

a. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan mempunyai makna yang begitu luas dan bermacam-macam, sehingga perlu ditinjau dari berbagai macam sudut pandang.

1.Kebijakan pendidikan dalam kebijakan publik
Pada makalah ini dipahami makna tentang kebijakan pendidikan, yaitu kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik dan kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik atau dalam kebijakan publik. Pada pembahasan disini, kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik. Pemahaman ini dimulai dari ciri-ciri kebijakan publik secara umum.
Pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh Negara, yaitu berkenaan dengan lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif.
Kedua, kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur orang seorang atau golongan. [1]
Disini kebijakan publik dipahami sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh intitusi Negara dalam rangka mencapai visi dan misi Negara.
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, Jhon Codd, dan Anne-Mari O’Neil, kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan perlu mendapatkan prioritas utama dalam ere-globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Dmokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.[2]
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan public dibidang pendidikan. Maka kebijakan pendidikan merupakan kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan Negara-bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu dari tujuan pembangunan Negara bangsa secara keseluruhan.

2. Kebijakan Pendidikan dan Gender
Masyarakat manusia secara tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin. kekuasaan maskulin itu diperkuat oleh berbagai mitos, tradisi untuk membordinasikan perempuan dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan apabila terdapat banyak kebijakan termasuk kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan pendidikan yang merugikan kaum perempuan. Bukankah manusia itu dilahirkan dari seorang perempuan, dan seorang ibu adalah seorang pendidik alamiah yang utama dan pertama oleh sebab itu, perempuan, ibu, secara genealogis merupakan salah satu dari stakeholder pendidikan alamiah disamping keluarga, masyarakat dan Negara.
Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional telah diberikan kesempatan yang sama kepada pria dan perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[3]

3. Kebijakan pendidikan menurut Carte V. Good (1959) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assessment of situational factors, operating within institutionalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.[4]

4. Hough (1984) sebagaimana dikutip oleh Mudjia Rahardjo juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bias menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan.[5]

5. Kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkaan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.[6]

b. Dasar dan Tujuan Kebijakan Pendidikan
Dasar kebijakan pendidikan ditinjau dari segi sosiologis adalah selain gambaran manusia sebagai makhluk sosial manusia adalah makhluk yang dapat dididik dan harus mendapatkan apabila proses pendidikan tersebut sesuai dengan hakikat manusia yang bebas.[7]
Kebebasan manusia mempunyai dua aspek yaitu kebebasan dari dan kebebasan untuk. Kebebasan bukanlah merupakan kebebasan yang absolut tanpa mengenal batasibatas tetapi kebebasan dari lingkungan kekuasaan.
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Untuk menentukan pilihan dalam merumuskan kebijakan dalam pendidikan, perlu pemahaman tentang pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan, yaitu: (1) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, (2) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dan (3) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi.

  1). Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Masyarakat
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakekat tujuan pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses penyempurnaan harkat dan martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus. Di mana pun proses pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang dalam, karena jika kita berbicara pendidikan pada hakekatnya membicarakan harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan.[8]

  2). Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Politisi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Pada masyarakat pluralistik, tujuan pendidikan yang lebih praktis ternyata masih sangat bervariasi, yang mengakibatkan tidak adanya kesamaan bahasa dan terminologi terhadap tujuan-tujuan kebijakan pendidikan tidak kunjung selesai. Orang tua, masyarakat, dan pemerintah sama-sama mempunyai tangung jawab dalam pelaksanaan pendidikan. Akan tetapi, tatkala kebijakan penyelenggaraan pendidikan menjadi otoritas terpusat pada pemerintah pusat, sehingga praktek manajemen pendidikan pada level pusat, regional, lokal dan kelembagaan pun menjadi sarana pencapaian tujuan politik yang diarahkan pada reproduksi ideologi kelompok masyarakat yang dominan.[9]

3). Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Ekonomi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonom, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang, dengan alasan, bahwa:
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang memasuki dunia kerja. Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil.[10]

c. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan
Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup paling tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan; (3) cara kerja atau cara pemecahan masalah; dan (4) otoritas publik. Unsur masalah berkaitan dengan bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain; Unsur ini lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan; Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara. Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur logis dan sistematis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.[11]
Aspek yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kehampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek selanjutnya yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media.[12]
Selanjutnya, dalam memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi kebijakan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Menurut Dunn (1994) seperti yang dikutip Yoyon Bahtiar Irianto, implementasi kebijakan lebih bersifat kegiatan praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan. Dengan demikian, implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan, baik yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang stratejik, maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran dari kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Tingkat keberhasilan proses ini akan dipengaruhi berbagai unsur, baik yang bersifat mendukung atau menghambat, serta lingkungan, baik fisik, sosial maupun budaya.
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor. misalnya, mengemukakan faktor-faktor tersebut antara lain: (1) kompleksitas kebijakan yang telah dirumuskan, (2) kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, (3) sumber-sumber potensial yang mendukung, (4) keahlian pelaksanaan kebijakan, (5) dukungan dari khalayak sasaran, (6) efektifitas dan efisiensi birokrasi. Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.[13]

d. Langkah-langkah Umum Kebijakan Pendidikan
Prof. Hargaves dari London University menyatakan bahwa ilmu pendidikan mandeg dan tidak berkembang karena tidak mendapatkan input dari praktik pendidikan. Oleh sebab itu, ilmu pendidikan hanya berada pada tataran idealistik tanpa teruji dilapangan. Hakikat ilmu pendidikan berada dalam proses pendidikan yang terjadi dalam interaksi serta dialog antara pendidik dan peserta didik dalam masyarakat yang berbudaya. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia juga dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan di Indonesia bukan di tentukan oleh data dan informasi di lapangan, tetapi berdasarkan lamunan atau dengan menggunakan epistima-epistima ilmu lainnya yang tidak relevan dengan ilmu pendidikan yang terfokus kepada kebutuhan peserta didik.[14]
Kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta serta informasi telah mendapat input dari kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu diteliti. Hasil riset yang telah divalidasi dapat disebarluaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang akan dapat membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi suatu siklus yang berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen.
Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peranan aktif dari para pendidik professional karena dari merekalah dapat tersusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata didukung oleh fakta-fakta positif.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah di-test kebenarannya di lapangan.[15] Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut dirumuskan dan diinstruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang diinstruksikan dari pemerintah pusat atau pun pemerintah daerah. Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar di lapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya. Selain, kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya ABS (Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporan dari bawah yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan.
Dalam konteks implementasi kebijakan desentralisasi, Rondinellli & Cheema, memperkenalkan teori implementasi kebijakan yang orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengarih faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah di bidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut konsep tersebut, ada dua pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang sering dikacaukan:
Pertama, the compliance approach, yaitu yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut.
Kedua, the political approach. Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration as an intgral part of the policy making process in which polities are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.”
Administrasi dan manajemen merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan. Kebijakan dibuat karena tuntutan administrasi, dan pada saat kebijakan akan diimplementasikan di situlah manajemen berperan. Dimana kebijakan diubah, dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam proses implementasi. Jadi, membuat implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa diperhitungkan (unpredictable).[16]
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di Indonesia, karena kebanyakan para perumus kebijakan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah lebih suka menggunakan pendekatan the compliance approach daripada the political approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknis tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan dicapai. Padahal, pada kenyataannya tidaklah demikian. [17]
Merujuk konsep-konsep seperti dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan di Indonesia menyangkut program dan kebijakan lainnya yang bukan hanya sekedar proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan, melainkan merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat diperhitungkan. Beragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan itu.
Di samping itu, analisis kebijakan pendidikan yang digunakan di Indonesia sepertinya lebih banyak menggunakan model analisis kebijakan politik-publik yang didasarkan pada asumsi-asumsi politis. Indikatornya dapat dikemukakan:
Pertama, ketidakjelasan dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan- permasalahan pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak heran manakala membicarakan sistem pendidikan ternyata yang dibahas adalah sistem persekolahan; Menganalisis kebijakan pendidikan yang dianalisis ternyata kebijakan penyelenggaraan persekolahan. Akibatnya, paradigma pendidikan yang universal dipandang secara sempit, dan lebih banyak adaptif daripada inisiatif.

Kedua, dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirical, evaluative, normative, predictive. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu diintegrasikan secara “sinergy”, bukan sebagai komponen yang “terdikotomi”. Artinya, apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih ada butir-butir yang lepas dari ruang lingkupnya

kurikulum pendidikan

Kurikulum

Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja<

Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.

Komponen Kurikulum

Salah satu fungsi kurikulum ialah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang pada dasarnya kurikulum memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lainnya dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Komponen merupakan satu sistem dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, sebab kalau satu komponen saja tidak ada atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan komponen-komponen kurikulum. Ada yang mengemukakan 5 komponen kurikulum dan ada yang mengemukakan hanya 4 komponen kurikulum. Untuk mengetahui pendapat para ahli mengenai komponen kurikulum berikut Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum, yaitu: (1) komponen tujuan; (2) komponen isi/materi; (3) komponen media (sarana dan prasarana); (4) komponen strategi dan; (5) komponen proses belajar mengajar.

Sementara Soemanto (1982) mengemukakan ada 4 komponen kurikulum, yaitu: (1) Objective (tujuan); (2) Knowledges (isi atau materi); (3) School learning experiences (interaksi belajar mengajar di sekolah) dan; (4) Evaluation (penilaian). Pendapat tersebut diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan Karya (1992), serta Nana Sudjana (1991: 21). Walaupun istilah komponen yang dikemukakan berbeda, namun pada intinya sama yakni: (1) Tujuan; (2) Isi dan struktur kurikulum; (3) Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar), dan: (4) Evaluasi.

Fungsi Kurikulum

Kurikulum dalam pendidikan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut: A. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendididkan Fungsi kurikulum dalam pendidikan tidak lain merupakan alat untuk mencapai tujuan pendididkan.dalam hal ini, alat untuk menempa manusia yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pendidikan suatu bangsa dengan bangsa lain tidak akan sama karena setiap bangsa dan Negara mempunyai filsafat dan tujuan pendidikan tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai segi, baik segi agama, idiologi, kebudayaan, maupun kebutuhan Negara itu sendiri. Dsdengan demikian, dinegara kita tidak sama dengan Negara-negara lain, untuk itu, maka: 1) Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, 2) Kuriulum merupakan program yang harus dilaksanakan oleh guru dan murid dalam proses belajar mengajar, guna mencapai tujuan-tujuan itu, 3) kurikulum merupakan pedoman guru dan siswa agar terlaksana proses belajar mengajar dengan baik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

B. Fungsi Kurikulum Bagi Sekolah yang Bersangkutan Kurikulum Bagi Sekolah yang Bersangkutan mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) Sebagai alat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan 2) Sebagai pedoman mengatur segala kegiatan sehari-hari di sekolah tersebut, fungsi ini meliputi: a. Jenis program pendidikan yang harus dilaksanakan b. Cara menyelenggarakan setiap jenis program pendidikan c. Orang yang bertanggung jawab dan melaksanakan program pendidikan.

C. Fungsi kurikulum yang ada di atasnya 1) Fungsi Kesinambungan Sekolah pada tingkat atasnya harus mengetahui kurikulum yang dipergunakan pada tingkat bawahnya sehingga dapat menyesuaikan kurikulm yang diselenggarakannya. 2) Fungsi Peniapan Tenaga Bilamana sekolah tertentu diberi wewenang mempersiapkan tenaga guru bagi sekolah yang memerlukan tenaga guru tadi, baik mengenai isi, organisasi, maupun cara mengajar.

D. Fungsi Kurikulum Bagi Guru Guru tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana kurikulum sesuai dengan kurikulum yang berlaku, tetapi juga sebagai pengembanga kurikulum dalam rangaka pelaksanaan kurikulum tersebut.

E. Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah Bagi kepala sekolah, kurikulum merupakan barometer atau alat pengukur keberhasilanprogram pendidikan di sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut untuk menguasai dan mengontrol, apakah kcegiatan proses pendidikan yang dilaksanakan itu berpijak pada kurikulum yang berlaku.

F. Fungsi Kurikulum Bagi Pengawas (supervisor) Bagi para pengawas, fungsi kurikulum dapat dijadikan sebagai pedoman, patokan, atau ukuran dan menetapkan bagaimana yang memerlukan penyempurnaan atau perbaikan dalam usaha pelaksanaan kurikulum dan peningkatan mutu pendidikan.

G. Fungsi Kurikulum Bagi Masyarakat Melalui kurikulum sekolah yang bersangkutan, masyarakat bisa mengetahui apakah pengetahuan, sikap, dan nilaiserta keterampilan yang dibutuhkannya relevan atau tidak dengan kuri-kulum suatu sekolah.

H. Fungsi Kurikulum Bagi Pemakai Lulusan Instansi atau perusahaan yang memper-gunakan tenaga kerja yang baik dalamarti kuantitas dan kualitas agar dapat meningkatkan produk-tivitas.

jenjang pendidikan

Jenjang Pendidikan

Sekilas Definisi Pendidikan di Indonesia

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Jenjang Pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pendidikan di Indonesia mengenal tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar (SD/MI/Paket A dan SLTP/MTs/Paket B), pendidikan menengah (SMU, SMK), dan pendidikan tinggi. Meski tidak termasuk dalam jenjang pendidikan, terdapat pula pendidikan anak usia dini, pendidikan yang diberikan sebelum memasuki pendidikan dasar.

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

* Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.

  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini

Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

Jalur Pendidikan Formal

Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudlatul Athfal (RA) yang dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk di sini adalah Bustanul Athfal (BA).

Jalur Pendidikan Non Formal

Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.

Jalur Pendidikan Informal

Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

Pendidikan Dasar

Pendidikan ini merupakan pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak, yaitu di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada masa ini para siswa mempelajari bidang-bidang studi antara lain: – Ilmu Pengetahuan Alam – Matematika – Ilmu Pengetahuan Sosial – Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris – Pendidikan Seni – Pendidikan Olahraga

Di akhir masa pendidikan di SD, para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke SMP dengan lama pendidikan 3 tahun.

Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

pendidikan formal

PENGERTIAN PENDIDIKAN FORMAL DAN PENDIDIKAN NON FORMAL

 
Pendidikan jalur formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.  Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sedangkan pengertian pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (Undang Undang No 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (11) dan Ayat (13).
Pendidikan jalur  formal merupakan bagian dari pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan kreatif, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas dan berdaya saing di era global.
PENDIDIKAN NON FORMAL 
 
Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah. Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pengertian pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Terdapat beberapa jenis lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan non-formal di Indonesia, yaitu:
a.      Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) : adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional di bidang pendidikan luar sekolah. BP-PLSP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan pengembangan program 23 serta fasilitasi pengembangan sumberdaya pendidikan luar sekolah berdasarkan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional.
b.      Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB): adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Dinas Pendidikan Propinsi di bidang pendidikan luar sekolah. BPKB mempunyai tugas untuk mengembangkan model program pendidikan luar sekolah sesuai dengan kebijakan Dinas Pendidikan Propinsi dan kharakteristik propinsinya.
c.       Sanggar Kegiatan Belajar (SKB): adalah unit pelaksana teknis Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di bidang pendidikan luar sekolah (nonformal). SKB secara umum mempunyai tugas membuat percontohan program pendidikan nonformal, mengembangkan bahan belajar muatan lokal sesuai dengan kebijakan dinas pendidikan kabupaten/kota dan potensi lokal setiap daerah.
d.      Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM): suatu lembaga milik masyarakat yang pengelolaannya menggunakan azas dari, oleh dan untuk masyarakat. PKBM ini merupakan wahana pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan belajarnya sendiri. PKBM merupakan sumber informasi dan penyelenggaraan berbagai kegiatan belajar pendidikan kecakapan hidup sebagai perwujudan pendidikan sepanjang hayat.
e.      Lembaga PNF sejenis: adalah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang memberikan pelayanan pendidikan nonformal berorientasi life skills/keterampilan dan tidak tergolong ke dalam kategori-katagori di atas, seperti; LPTM, Organisasi Perempuan, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Dalam hal ini perlu disadari bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.

manfaat pendidikan

MACAM MACAM PENDIDIKAN

 
stilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.
Menurut Jery Mintz (1994:xi) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:

  1. sekolah public pilihan (public choice);
  2. sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);
  3. sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan
  4. pendidikan di rumah (home-based schooling).

Sekolah Publik Pilihan; adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan dengan program regular/konvensional, namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan.
Contoh sekolah publik pilihan adalah sekolah terbuka / korespondeni (jarak jauh). Kondisi sekarang adalah SMP Terbuka, SMU Terbuka, Universitas Terbuka.Contoh lain adalah sekolah yang disebut sekolah magnet ( magnet school) atau sekolah bibit (seed school). Disebut sekolah magnet karena sekolah ini menawarkan program unggulan seperti dalam hal olahraga, atau seni. Disebut sekolah bibit karena program pendidikan yang diselenggarakan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai keunggulan dalam program yang ditekuni.
Sekolah/Lembaga Pendidikan Publik untuk Siswa Bermasalah; pengertian “siswa bermasalah” di sini meliputi mereka yang:

  • tinggal kelas karena lambat belajar,
  • nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk lembaga permasyarakatan anak),
  • korban penyalahgunaan narkoba,
  • korban trauma dalam keluarga karena perceraian orang tua, ekonomi, etnis/budaya (termasuk bagi anak suku terasing dan anak jalanan dan gelandangan),
  • putus sekolah karena berbagai sebab,
  • belum pernah mengikuti program sebelumnya. Namun tidak termasuk di dalamnya sekolah luar biasa yang dibangun untuk penyandang kelainan fisik dan/atau kelainan mental seperti tunarungu, tuna netra, tuda daksa, dsb.

Sekolah/Lembaga Pendidikan Swasta; mempunyai jenis, bentuk dan program yang sangat beragam, termasuk di dalamnya program pendidikan bercirikan agama seperti pesantren & sekolah Minggu; lembaga pendidikan bercirikan keterampilan
fungsional seperti kursus atau magang; lembaga pendidikan dengan program perawatan atau pendidikan usia dini seperti penitipan anak, kelompok bermain dan taman kanak-kanak.
Pendidikan di Rumah (Home Schooling); termasuk dalam kategori ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.
Dari data yang saya terima, keluarga di Amerika merasa lebih aman menyekolahkan anak mereka di rumah karena sekolah di sana adalah lembaga yang tempat dan efektif untuk berdagang narkoba, kejadian ktd (kehamilan yang tidak diinginkan), dan perilaku kekerasan dan penindasan terhadap remaja –seperti kasus STPDN dulu mungkin ya?-.
Perkembangan Pendidikan Alternatif
Bentuk pendidikan alternative tertua yang dikelola masyarakat untuk masyarakat adalah Pesantren. Diperkirakan dimulai pada abad 15, kali pertama dikembangkan oleh Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Kemudian muncul pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Selain pesantren, Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Selain Taman Siswa, Mohammad Syafei membuka sekolah di Kayutaman. Sekolah dengan semboyan, “Carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Siswa diberi keterampilan untuk membuat
sendiri meja dan kursi yang digunakan bagi mereka belajar. Namun Belanda telah membumihanguskan sekolah tersebut.
Sekolah Laboratorium IKIP Malang, lebih dikenal sebagai Sekolah Laboratorium Ibu Pakasi (SLIP) karena sekolah ini dipimpin oleh Prof. Dr. Supartinah Pakasi. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 yang dimulai dari pendirian Taman Kanak-kanak dan pendidikan dasar. Sekolah ini disebut juga SD 8 tahun karena memberikan pendidikan dasar setingkat SMP dalam waktu delapan tahun. Sekolah ini menarik perhatian baik pendidik dari dalam dan luar negeri.
Namun apa yang telah dibangun Ibu Pakasi harus diberhentikan tahun 1974 karena harus mengikuti program baku pemerintah dalam bentuk Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). Sedangkan proyek ini belum pernah dipastikan berhasil namun harus menenggelamkan usaha yang bertahun-tahun berhasil dan teruji efektivitasnya. Hal ini merupakan intervensi yang berlebihan dari pemerintah dan patut disesalkan.
Tahun 1972 dalam rangka kerja sama SEAMEO INNOTECH Center diselenggarakan suatu model pendidikan dasar yang disebut IMPAC (Instruction Managed by Parent,
Community, and Teacher
) yang di Indonesiakan dengan istilah PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru). Proyek ini dilaksanakan di desa Alastuwo dan Kebakramat kabupaten Sukoharjo, Surakarta dibawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan (sekarang menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) dan pelaksana lapangan adalah tim IKIP Yogyakarta cabang Surakarta (yang kemudian menjadi Universitas Negeri Sebelas Maret).
Sistem Pamong dinilai berhasil karena siswa-siswanya lulus EBTA sekolah regular, dan bahkan program ini diikuti dan diikuti dan telah meluluskan sejumlah orang tua/dewasa yang belum pernah berkesempatan menamatkan pendidikan dasar.
Namun program ini terpaksa dihentikan karena adanya kebijakan pemerintah berupa SD Inpres, selain itu program PAMONG ini dianggap telah melanggar ketentuan batas usia anak sekolah dasar 6 s.d 15 tahun dengan diberikannya kesempatan orang dewasa mengikuti program tersebut.
Lain cerita, tahun 1974 Direktorat Pendidikan Masyarakat pada Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga mengembangkan paket belajar pendidikan dasar bagi orang dewasa. Paket ini disebut KEJAR Paket A (kemudian disusul dengan Paket B) Kejar yang merupakan akronim dari Kelompok Belajar atau Bekerja dan Belajar dimaksudkan mengejar “ketertinggalan”.
Paket A terdiri dari 100 buku modul yang disusun membawa pelajaran dasar membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia, kewarganegaraan dan keterampilan sebenarnya mengangkat pendidikan life skill dari masyarakat. Semula program ini dilaksanakan di tempat-tempat informal seperti balai desa dan masjid dengan pendekatan kemasyarakatan, namun tragis nasibnya, dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar Sembilan Tahun, maka pendekatan kemasyarakatan dengan sifat fungsional dan life skill ini harus digantikan dengan kurikulum baku Sekolah Dasar.
Timbul gonjang-ganjing karena meluapnya lulusan Sekolah Dasar dan tidak tertampung di SMP regular dan menimbulkan keresahan sosial maka tahun 1979 dirintis SMP Terbuka oleh Pustekkom Dikbud. SMP Terbuka dinilai sangat berhasil karena telah dilaksanakan di seluruh propinsi dan tercatat pada tahun 1998/1999 telah dikembangkan di 2.356 lokasi dengan siswa lk 280.000 orang. SMP Terbuka sekarang telah dikembangkan menjadi SMU Terbuka .
Universitas Tikyan” merupakan satu sebutan pendidikan bagi anak-anak jalanan di daerah Yogyakarta tahun 1988 namun baru beroperasi tahun 1996 oleh Yayasan Humana). Istilah Tikyan ini dipopulerkan oleh wartawan Media Indonesia yang merupakan singkatan “sitik-sitik lumayan” Berbagai macam keterampilan di ajarkan oleh kampus ini seperti membatik, kerajinan tangan, membuat kertas daur ulang kerajinan kayu, melukis dan lain-lain. (Media Indonesia, Minggu 25 Oktober 1998:9). Kampus Tikyan tentu saja tidak menerbitkan ijasah karena tujuan pendidikan mereka adalah memanusiakan manusia. Pendidikan semacam Tikyan yang juga disebut rumah singgah tentu sangat banyak di Indonesia.
Pengalaman saya ketika di kampus IKIP Jakarta adalah kami menjalankan pendidikan Taman Kanak-Kanak Keliling (TK Keliling) lewat Unit Kegiatan Mahasiswa kami. TK Keliling ini didirikan tahun 1982 dan syukur alhamdulillah masih terus berjalan hingga kini. Tujuan TK Keliling adalah mengenalkan pendidikan dini bagi anak-anak di daerah tertinggal atau slum area (belum pernah kan ngerasain dicium murid dengan ingus yang terus ngalir? hehehe…)
Mengenai Pendidikan di Rumah (Home Schooling/Home Based Schooling) di Indononesia saya belum mendapat data yang pas, meskipun saya yakin pendidikan tersebut telah ada dan berkembang di Indonesia. Namun saya sempat mencatat, kelompok masyarakat yang menyelenggarakan Home Schoolingdi Indonesia adalah Kelompok Musik Sufi Debu yang dipimpin oleh Syeh Yusuf. Mereka menyelenggarakan sendiri pendidikan bagi keluarga dan anak mereka.

 

ARTI PENDIDIKAN

 
Definisi dan Pengertian Pendidikan menurut para ahli pada hakekatnya adalah suatu proses pembentukan perilaku manusia secara intelektual untuk menguasai ilmu pengetahuan, secara emosional untuk menguasai diri dan secara moral sebagai pendalaman dan penghayatan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Secara etimologi pendidikan berasal dari kata “educare” dalam bahasa latin yang bermakna melatih atau mengajarkan. Educare berasal dari kata ex dan ducare, yang berarti memimpin. Jadi pendidikan adalah suatu proses pelatihan dimana terdapat dua subyek yang saling berhubungan, yaitu yang satu memimpin dan yang satunya lagi dipimpin.

Pendidikan adalah kegiatan kemanusiaan atau disebut sebagai kegiatan “memanusiakan manusia”. Kesuma, dkk (2007), menyebutkan bahwa sebagai kegiatan manusiawi, pendidikan membuat manusia membuka diri terhadap dunia. Lebih dari itu Khan (2010), menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses humanisasi yang artinya dengan pendidikan manusia akan lebih bermartabat, berkarakter, terampil, yang memiliki tanggung jawab terhadap sistem sosial sehingga akan lebih baik, aman dan nyaman.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari 2 jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, dan lebih mengutamakan peningkatan mutu serta memperluas wawasan ilmu pengetahuan. Pendidikan akademik diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas.

Manfaat Pendidikan

 
Manfaat Pendidikan
 
Pembahasan tentang pengawasan pendidikan harus diawali dengan dua pengamatan dasar, pertama bahwa orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi berbeda dengan orang yang kurang berpendidikan. Pengamatan kedua adalah perubahan individu yang terjadi setelah mereka mendapatkan yang lebih tinggi.
  1. Dimensi Manfaat Pendidikan
Orang yang akan mendapat beberapa keuntungan atau manfaat pendidikan yang pertama dan yang paling nyata adalah siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga setiap karakteristik tersebut harus dapat dipahami agar mereka dapat mencapai manfaat dalam pendidikan. Sebagai tambahan pengaruh orang lain dalam masyarakat dapat mempengaruhi pendidikan siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung (keluarga dan teman-teman atau guru). Manfaat yang akan diperoleh siswa mudah sekali untuk dijelaskan, siswa yang belajar membaca disekolah lebih baik dari pada mereka yang tidak dapat membaca.
Dalam ekonomi hal ini disebut “manfaat pribadi”. Para ekonom membedakan manfaat pribadi dengan manfaat sosial. Manfaat sosial adalah sesuatu yang dapat mengembangkan orang selain pendidikan. Masyarakat dikatakan lebih baik karena pendidikan mereka.
Karakteristik dan pembawaan umum tertentu dapat dianggap sebagai hasil dari sekolah, termasuk pemahaman tentang nilai demokrasi sebagai upaya untuk memerangi segala bentukkediktatoran dalam suatu pemerintahan dan kemampuan untuk berpikir kritis dan yang pantas. Keahlian tersebut mungkin menjadi pengaruh tidak langsung dari bidang studi kewarganegaraan, ilmu sosial, sejarah, filsafat, bahasa, dan pengajaran lain.
Perubahan yang dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan. Secara metodologis hal ini berarti bahwa pengukuran pretest dan protest pada individu diperlukan untuk mengidentifikasi perubahan yang disebabkan oleh pendidikan. Hal ini dikenal sebagai “pendekatan penambahan nilai”.
Terdapat lima cara yang berbeda untuk membuat fakulasi (penghitungan) dan mengaplikasikan metode yang spesifik pada pendidikan yang lebih tinggi. Yang pertama adalah dalam mengevaluasi perubahan individu, segala yang dihabiskan dalam pendidikan (tingkat biaya) adalah ukuran kelebihannya. Kedua yaitu menyelidiki reaksi klien terhadap pendidikan universitas. Ketiga adalah mempertimbangkan peningkatan dalam nilai kapita dari manusia yang merupakan hasil dari pendidikan yang lebih tinggi. Keempat melihat seberapa besar pendidikan yang lebih tinggi bertanggung jawab atau berperan dalam pertumbuahn. Kelima dalam memperkirakan nilai pendidikan universitas dengan melihat pada tingkat pengembalian investasi pada pendidikan universitas.
Manfaat pendidikan diperoleh selama pengalaman dari pendidikan itu sendiri, manfaat pendidikan dapat ditanyakan pada siswa setelah mereka melaksanakan pendidikan. Persamaannya seperti manfaat sosial dari mengikuti permainan sepak bola di SMA terjadi selama pengalaman pendidikan.
 
  1. Fungsinya Memahami Manfaat Pendidikan
Penting sekali untuk mengetahui apa manfaat yang meluas dari pendidikan agar dalam mengalokasi sumber tidak hanya antara berbagai macam dan tingkat sekolah tetapi juga antara pendidikan dan juga program sosial. Manfaat pendidikan juga harus dihargai untuk memutuskan bagaimana membiayai pendidikan pada tingkat yang berbeda. Jika manfaat meluas pada masyarakat yang bersekolah, terdapat alas an untuk memajukan pembiayaan sendiri bagi proses pendidikan, bahkan bias dari pinjaman. Manfaat pendidikan juga harus diidentifikasi untuk menginterpretasikan motivasi pendidik. Secara mendasar pengetahuan diperlukan sebagai manfaat pendidikan sehingga proses pendidikan dapat dievaluasi melalui analisis harga manfaat yang berhubungan dengan alokasi dana dan dalam penetapan manajemen.
 
  1. Penelitian dan Manfaat Pendidikan
    1. Pendidikan Dasar
Salah satu pemikiran dasar untuk pendidikan remaja selalu adalah fungsi penjagaan sekolah-sekolah, menjauhkan anak-anak dari jalanan, mengurangi kejahatan, membebaskan orang tua untuk bekerja atau bersenang-senang, dan mengajari anak-anak tentang norma-norma masyarakat.
Serupa dengan itu, sekolah-sekolah telah dipercaya melakukan satu fungsi sosialisasi; mengajari anak-anak bagaimana cara bergaul, berbagi, mengambil giliran (bersabar), berpakaian, dan menyesuaikan diri.
    1. Pendidikan Tinggi
Para ekonom memfokuskan pada manfaat yang terkait dengan pekerjaan dan karier yang diterima dari perguruan tinggi oleh mereka yang kuliah dan lulus bukan karena mereka hanya memikirkan uang, tetapi mereka ingin melihatapakah perubahan yang disebabkan oleh kuliah diperguruan tinggi meningkatkan produktivitas (yakni, menghasilkan modal manusia) dan dengan demikian meningkatkan pendapatan.
(Schultz,1961) menghipotesiskan bahwa kuantitas dan kualitas pendidikan yang didapat oleh suatu individu memberikan kontribusi pada modal manusianya, yang menghasilkan kapasitasproduksi yang lebih besar. Modal manusia satu individu selalu bergantung pada faktor-faktor disamping pendidikan (seperti; kesehatan, motivasi, kemampuan bawaan, dan status social ekonomi).
Manfaat dari perguruan tinggi yang berhubungan dengan keuntungan penghasilan dan gengsi social pada dasarnya berkaitan dengan penawaran dan permintaan akan pekerja berpendidikan perguruan tinggi. Kapanpun ada penawaran yang lebih besar dan penawaran lebih sedikit harga naik.
(Rumberger, 1986) mengemukakan bahwa pendidikan sekolah tambahan tidak selalu secara otomatis dihargai dengan pendapatan yang lebih tinggi. Menurut Rumberger, pendidikan sekolah khusus untuk pekerjaan tertentu. Yakni, ketika para pekerja memperoleh pelatihan berdasarkan pada penilaian mereka sendiri atau satu penilaian independent terhadap apa yang dibutuhkan dalam pekerjaan tersebut, pelatihan tersebut dihargai dengan gaji yang lebih tinggi, sementara pelatihan lain yang tidak bersifat khusus untuk satu pekerjaan tertentu mungkin tidak begiti dihargai.
Dinegara-negara lain, proporsi penduduk yang memenuhi syarat yang telah kuliah diperguruan tinggi biasanya jauh lebih rendah daripada Amerika Serikat. Oleh karena itu, lulusan perguruan tinggi dinegara-negara lain dapat mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mendapati dirinya tidak dihargai dipasar kerj. Di Amerika Serikat sulit untuk berpendapat bahwa setiap tingkat kejenuhan ditingkat S1 dapat menyebabkan kelebihan pendidikan pendidikan dalam artian umum, karena hasil-hasil kejuruan merupakan bagian kecil dari total manfaat pendidikan ditingkat tersebut. Terkait dengan pasar kerja, apa yang dibutuhakan untuk individu bias merupakan pemborosan bagi perekonomian secara keseluruhan (contohnya, gelar S1 dapat dibutuhkan untuk mengajar sejarah kelas empat, tetapi mungkin tidak ada kebutuhan guru sejarah lagi).
Dinegara-negara lain, gelar S1 perguruan tinggi mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berperan sebagai dokumen resmi professional terakhir. Contohnya, di Brasil, bahkan hokum dan kedokteran dipraktekkan oleh lulusan perguruan tinggi tanpa pendidikan pasca sarjana. Ketidakcocokan antara permintaan dan penawaran akan lulusan untuk beragam bidang profesi dan disiplin ilmu menjadi lebih dari sekedar alas an untuk mempertanyakan pertumbuhan dalam pendidikan S1.
(Bowen, 1977) dalam rangkumannya “Apakah pendidikan tinggi setimpal dengan biayanya?”, Bowen memulai dengan memperlihatkan bahwa “Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengubah orang-orang dengan cara-cara yang diinginkan. Tetapi dalam contoh pertama, tujuannya adalah untuk memodofikasi sifat-sifat dan pola-pola perilaku manusia secara perorangan. Universitas-universitas juga berperan melestarikan warisan budaya dan memajukan peradaban. Mereka memberikan layanan masyarakat langsung seperti layanan kesehatan, perpustakaan,museum,pertunjukan drama dan musik, layanan konsultasi.
Dampak terkait universitas terhadap masyarakat dapat dianggap negative (contohnya, jika mereka menghasilkan penelitian yang berakhir dengan pengembangan senjata yang merusak).
 
  1. Kesimpulan
Setiap individu tidak dapat berharap lebih untuk mendapatkan semua manfaat yang telah dikemukakan. Sebagian manfaat menjadi lebih lemah ketika satu tingkat pendidikan menjadi kurang eksklusif pasti juga ada dampak negative pendidikan sekolah. Analisis untung rugi harus dilakukan oleh individu-individu dalam memutuskan apakah manfaat potensial yang dapat mereka terima dari bersekolah di satu lembaga pendidikan tertentu sesuai dengan biayanya. Serupa dengan itu, masyarakat harus bertanya apakah manfaat yang akan diterimanya dari pengalokasian dana public untuk pendidikan setimpal dengan manfaat yang dihasilkan dari penggunaan alternative dana ini.
Kesimpulannya disini adalah bahwa bagi sebagian besar individu dan bagi masyarakat secara keseluruhan, pendidikan sekolah merupakan investasi yang bagus, namun demikian tidak seorangpun akan begitu ceroboh untuk mengatakan bahwa pendidikan patut didukung, tetapi kita tidak dapat berharap terlalu banyak darinya.

kualitas pendidikan

Kualitas Pendidikan Indonesia Ranking 69 Tingkat Dunia

 
Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.
 
Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu:
  • Angka partisipasi pendidikan dasar,
  • Angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas,
  • Angka partisipasi menurut kesetaraan jender,
  • Angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
 
Penurunan EDI Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima tahun. 
 
 
 

Di Tingkat Asia

Saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai posisi nomor satu Asia. Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia.Meskipun demikian posisi Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).

Finlandia Terbaik Dunia

Sistem pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia. Rekor prestasi belajar siswa yang terbaik di negara-negara OECD dan di dunia dalam membaca, matematika, dan sains dicapai para siswa Finlandia dalam tes PISA.  Amerika Serikat dan Eropa, seluruh dunia gempar.
 
 
Untuk tiap bayi yang lahir kepada keluarganya diberi maternity package yang berisi 3 buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri. Alasannya, PAUD adalah tahap belajar pertama dan paling kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun).

 

Kegemaran membaca aktif didorong. Finlandia menerbitkan lebih banyak buku anak-anak daripada negeri mana pun di dunia. Guru diberi kebebasan melaksanakan kurikulum pemerintah, bebas memilih metode dan buku teks. Stasiun TV menyiarkan program berbahasa asing dengan teks terjemahan dalam bahasa Finish sehingga anak-anak bahkan membaca waktu nonton TV.
 
 
Pendidikan di sekolah berlangsung rileks dan masuk kelas siswa harus melepas sepatu, hanya berkaus kaki. Belajar aktif diterapkan guru yang semuanya tamatan S2 dan dipilih dari the best ten lulusan universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur. Frekuensi tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah Matriculation Examination  untuk masuk PT. Sekolah swasta mendapatkan dana sama besar dengan dana untuk sekolah negeri.
 
 
Sebesar 25% kenaikan pendapatan nasional Finlandia disumbangkan oleh meningkatnya mutu pendidikan. Dari negeri agraris yang tak terkenal kini Finlandia maju di bidang teknologi. Produk HP Nokia misalnya merajai pasar HP dunia. Itulah keajaiban pendidikan Finlandia. Finlandia University

Membanding Sistem Indonesia dengan Finlandia

Ada yang berpendapat,  keunggulan mutu pendidikan Finlandia itu tidak mengherankan karena negeri ini amat kecil dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa,  penduduknya homogen,  dan negaranya sudah eksis sekian ratus tahun. Sebaliknya,  penduduk Indonesia lebih dari 220 juta jiwa, amat majemuk terdiri dari beragam suku, agama, budaya, dan latar belakang sosial.  Indonesia baru merdeka 66 tahun.
 
 
Pendapat senada dikemukakan oleh tokoh-tokoh dan pemerhati pendidikan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jepang,  dan negara-negara lain dibandingkan dengan negaranya. Yang paling malu AS karena unit cost anggaran pendidikannya jauh melebihi Finlandia tapi siswanya mencapai ranking 17 dan 24 dalam tes PISA, sedangkan siswa Shanghai China ranking 1, Finlandia 2, dan Korea Selatan 3. Soal siswa di Shanghai China juara masih diragukan karena belum menggambarkan keadaan mutu seluruh pendidikan China. Kalau Finlandia sebagai negara kecil bisa juara mengapa negara kecil yang sudah established seperti Islandia, Norwegia, New Zealand tak bisa?
 
Akhirnya semua mengakui bahwa sistem pendidikan Finlandia yang terbaik di dunia karena kebijakan-kebijakan pendidikan konsisten selama lebih dari 40 tahun walau partai yang memerintah berganti. Secara umum kebijakan-kebijakan pendidikan China dan Korea Selatan (dan Singapura) juga konsisten dan hasilnya terlihat sekarang.
 
 
Kebijakan-kebijakan pendidikan Indonesia cenderung tentatif, suka coba-coba, dan sering berganti.
 
Lalu bagaimana dengan kebijakan pendidikan Indonesia jika dibandingkan dengan Finlandia?
 
 
  1. Pendidikan di Indonesia di penuhi dengan test evaluasi seperti ulangan harian, ulangan blok, ulangan mid-semester, ulangan umum / kenaikan kelas, dan ujian nasional. Finlandia menganut kebijakan mengurangi tes jadi sesedikit mungkin. Tak ada ujian nasional sampai siswa yang menyelesaikan pendidikan SMA mengikuti matriculation examination untuk masuk PT.
  2. KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) menyebabkan siswa yang gagal tes harus mengikuti tes remidial dan masih ada tinggal kelas. Sebaliknya, Finlandia menganut kebijakan automatic promotion, naik kelas otomatis. Guru siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas.
  3. Pemberian tugas Pekerjaan Rumah (PR) di sekolah Indonesia dianggap penting untuk mendisiplikan siswa rajin belajar. Sebaliknya, di Finlandia PR masih bisa ditolerir tapi maksimum hanya menyita waktu setengah jam waktu anak belajar di rumah.
  4. Kualifikasi guru SD Indonesia masih mengejar setara dengan S1, di Finlandia semua guru tamatan S2.
  5. Indonesia masih menerima calon guru yang lulus dengan nilai pas-pasan, sedangkan di Finlandia the best ten lulusan universitas yang diterima menjadi guru.
  6. Indonesi masih sibuk memaksa guru membuat silabus dan RPP mengikuti model dari Pusat dan memaksa guru memakai buku pelajaran BSE (Buku Sekolah Elektronik), di Finlandia para guru bebas memilih bentuk atau model persiapan mengajar dan memilih metode serta buku pelajaran sesuai dengan pertimbangannya.
  7. Jarang sekali guru di Indonesia yang menciptakan suasana proses belajar-mengajar itu menyenangkan (learning is fun) melalui penerapan belajar aktif. Bahkan lebih didominasi metode belajar  mengajar satu arah  seperti ceramah yang membosankan.Di Finlandia terbanyak guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan melalui implementasi belajar aktif dan para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Motivasi intrinsik siswa adalah kata kunci keberhasilan dalam belajar.
  8. Di Indonesia dikembangkan pengkatasan kelas yaitu klasifikasi kualitas kelas dalam kelas reguler dan kelas anak pintar, kelas anak lamban berbahasa Indonesia dan kelas bilingual (bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar) dan membuat pengkastaan sekolah (sekolah berstandar nasional, sekolah nasional plus, sekolah berstandar internasional, sekolah negeri yang dianakemaskan dan sekolah swasta yang dianaktirikan). Sebaliknya di Finlandia, tidak ada pengkotakan siswa dan pengkastaan sekolah. Sekolah swasta mendapatkan besaran dana yang sama dengan sekolah negeri.
  9. Finlandia pelajaran bahasa Inggris mulai diajarkan dari kelas III SD. Alasan kebijakan ini adalah memenangkan persaingan ekonomi di Eropa, membuka kesempatan kerja lebih luas bagi lulusan, mengembangkan wawasan menghargai keanekaragaman kultural.
  10. Jumlah hari Sekolah di Indonesia terlalu lama yaitu 220 hari dalam setahun (termasuk negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun yang tertinggi di dunia). Sebaliknya, siswa-siswa Finlandia ke sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari lebih banyak daripada di Indonesia. Kita masih menganut pandangan bahwa semakin sering ke sekolah anak makin pintar, mereka malah berpandangan semakin banyak hari libur anak makin pintar. Bahkan terkadang para guru mesih memberikan tugas sekolah selama masa liburan sehingga sekolah merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan.
 Hal-hal yang mendukung kemajuan pendidikan di Finlandia sebagai berikut ini:
  1. Setiap anak diwajibkan mempelajari bahasa Inggris serta wajib membaca satu buku setiap minggu.
  2. Sistem pendidikannya yang gratis sejak TK hingga tingkat universitas.
  3. Wajib belajar diterapkan kepada setiap anak sejak umur 7 tahun hingga 14 tahun.
  4. Selama masa pendidikan berlangsung, guru mendampingi proses belajar setiap siswa, khususnya mendampingi para siswa yang agak lamban atau lemah dalam hal belajar. Malah terhadap siswa yang lemah, sekolah menyiapkan guru bantu untuk mendampingi siswa tersebut serta kepada mereka diberikan les privat.
  5. Setiap guru wajib membuat evaluasi mengenai perkembangan belajar dari setiap siswa.
  6. Ada perhatian yang khusus terhadap siswa-siswa pada tahap sekolah dasar, karena bagi mereka, menyelesaikan atau mengatasi masalah belajar bagi anak umur sekitar 7 tahun adalah jauh lebih mudah daripada siswa yang telah berumur 14 tahun.
  7. Orang tua bebas memilih sekolah untuk anaknya, meskipun perbedaan mutu antar-sekolah amat sangat kecil.
  8. Semua fasilitas belajar-mengajar dibayar serta disiapkan oleh negara.
  9. Negara membayar biaya kurang lebih 200 ribu Euro per siswa untuk dapat menyelesaikan studinya hingga tingkat universitas.
  10. Baik miskin maupun kaya semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar serta meraih cita-citanya karena semua ditanggung oleh negara
  11. Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
  12. Makan-minum di sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah semuanya ditangani oleh pemerintah.
  13. Biaya pendidkan datang dari pajak daerah, provinsi, serta dari tingkat nasional.
  14. Mengenai para prospek karier dan kesejahteraan, setiap guru menerima gaji rata-rata 3400 euro per bulan setara 42 juta rupiah. Guru disiapkan bukan saja untuk menjadi seorang profesor atau pengajar, melainkan disiapkan juga khususnya untuk menjadi seorang ahli pendidikan. Makanya, untuk menjadi guru pada sekolah dasar atau TK saja, guru itu harus memiliki tingkat pendidikan universitas.

Kualitas Guru Finlandia

Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran!
 
 
 
 
Jika kebanyakan negara percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru beranggapan sebaliknya, testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Bener juga kan? Kita belajar a.k.a sekolah Cuma pingin dapet nilai akademik yang bagus dan memuaskan. Faktor pemahaman dan penerapan menjadi elemen yang diremehkan, pokoknya yang penting nilai kita bagus… ahdudududu… *_*
 
Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejakPra-TK!!! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia.
 
Semua siswa di bimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent. Karena dengan adanya banyak pen-dekte-an membuat para siswa akan merasa tertekan dan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
 
 
 
 
Bagaimana dengan siswa yang kurang cepat tanggap ? Mereka akan mendapatkan bimbingan yang lebih intensif. Inilah yang membuat Finlandia berhasil menyandang gelar Negara dengan pendidikan paling berkualitas di dunia.
 
Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD. Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Hmmm… sangat tercermin kalau guru di sana tidak menuntut anak didiknya untuk mengerjakan dengan hasil yang harus benar, para guru Finlandia menghargai setiap usaha dari siswanya.
 
Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan “Kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.
 
Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Adanya ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
 

Ternyata, negara yang tak diunggulkan bisa menjadi yang terbaik di dunia, tentu semua itu karena adanya kemauan & usaha yang keras serta kesolid-an dari berbagai pihak. Tidak ada kemustahilan di dunia ini, Negara kita tercinta Indonesia Raya ini bisa mencontoh sistem pendidikan dari Finlandia